Di era modem ini, semakin pesatnya tekonologi yang terus berkembang membuat arus informasi berjalan begitu cepat. Teknologi khususnya seperti media sosial yang bisa menyampaikan opini, membentuk tren, bahkan memengaruhi cara pandang masyarakat secara luas, membutuhkan strategi komunikasi khusus untuk mendistribusikan pesan yang diinginkan.
Dalam kondisi inilah muncul sebuah pekerjaan yang dikenal dengan sebutan buzzer. Mereka biasanya memanfaatkan kecepatan arus informasi media sosial untuk mengangkat sebuah isu yang tengah menjadi topik utama.
Buzzer sendiri merupakan individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan suatu informasi. Cara kerja yang dilakukan umumnya mulai dari membuat unggahan seragam, membanjiri komentar, hingga mendorong suatu tagar trending.
Di satu sisi, buzzer dianggap sebagai bagian dari strategi komunikasi modem yang wajar, terutama ketika dipakai untuk kepentingan bisnis atau promosi positif. Namun, disisi lain buzzer murni sulit dibedakan dengan opini yang sengaja digerakkan. Ia lebih dikenal sebagai penyebar opini berbayar yang terkadang bekerja secara anonim.
Dilihat dari segi influencer, pada dasarnya buzzer memiliki pengaruh karena konten, reputasi, dan kedekatan dengan pengikutnya.
Ketika seorang influencer bertindak sebagai buzzer, pesan yang disampaikan bisa lebih cepat dipercaya dan menyebar luas karena adanya kepercayaan publik terhadap identitas pribadi mereka.
Namun, hal ini juga menimbulkan polemik, sebab influencer yang menerima bayaran untuk mempromosikan isu tertentu sering dianggap tidak wansparan dan bisa kehilangan kredibilitas di mata pengikutnya.
Salah satu influencer yang mendapatkan tawaran 150 juta untuk menjadi buzzer ketika pemerintah tengah menghadapi gelombang kritik dan protes publik, adalah Jerome Polin.
Namun, dengan jumlah nominal yang begitu fantastis, mengapa seorang influencer edukasi seperti Jerome Polin lebih memilih menolak tawaran tersebut dan justru membongkar ke hadapan jutaan pengikutnya di media sosial?
Melalui akun Instagram pribadinya, Jerome membongkar tawaran kontroversial dari sebuah agensi yang mengajak menjadi buzzer untuk pemerintah dengan imbalan fantastis sebesar 150 juta.
Kasus ini terjadi di ranah media sosial, terutama platform Instagram, tempat Jerome Polin memiliki jutaan pengikut. Jerome mengunggah tangkapan layar percakapan berisi detail tawaran tersebut yang bertujuan untuk meredam isu-isu negatif.
Dalam unggahannya, ia tidak hanya menunjukkan penolakan, tetapi juga menyindir bahwa uang rakyat digunakan untuk pencitraan, bukan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat bagi publik, seperti menaikkan gaji guru.
Peristiwanya menjadi viral dan menyebar ke berbagai platform lain seperti X (Twitter), YouTube, dan media berita daring, memicu diskusi luas di kalangan warganet. Kasusnya mencuat tepat pada tanggal 29 Agustus 2025, bertepatan dengan maraknya kritik dan aksi protes terhadap pemerintah terkait berbagai isu sosial dan politik.
Konten yang diminta adalah narasi “ajakan damai” disebarkan secara serentak di media sosial pada tanggal 1 September 2025, termasuk di akun Instagram pribadinya.
Polemik opini publik dalam tawaran buzzer 150 juta
Tawaran kepada jerome polin menunjukkan adanya upaya untuk memanipulasi opini publik dengan menggunakan figur publik yang memiliki reputasi baik.
Pihak yang terlibat jelas adalah Jerome Polin sebagai influencer atau konten kreator, agensi pemberi tawaran tersebut, dan pemerintah atau pihak berkepentingan dengan pencitraan.
Meski identitas pihak pemberi tawaran tidak diungkap, langkah ini jelas bertujuan meredam kritik dan mengalihkan sentimen negative dengan memanfaatkan kepercayaan pengikut Jerome, agar publik percaya situasi tetap terkendali.
Sikap berani Jerome mendapat banyak apresiasi dari warganet, terutama pengikutnya. Mereka melihat tindakan Jerome sebagai keberanian moral untuk menolak suap dan melindungi audiens dari manipulasi.
Tindakannya memicu percakapan luas soal etika influencer dan dugaan penggunaan anggaran negara untuk kepentingan propaganda, sekaligus membuka mata publik terhadap praktik manipulasi opini yang jarang terlihat Jerome dipuji karena kejujuran dan keberaniannya dalam menolak tawaran menggiurkan tersebut, yang dianggap sebagai tindakan melindungi audiensnya dari manipulasi.
Pengungkapannya dapat memicu kemarahan publik yang lebih luas, terutama terkait penggunaan uang rakyat untuk membayar narasi pencitraan di saat banyak masalah krusial diabaikan. Dampaknya, publik menuntut transparansi dari pemerintah dan menjadi lebih skeptis terhadap konten politis yang beredar.
Selain itu, adanya diskusi penting untuk tanggung jawab moral para influencer dan batasan antara konten murni dengan propaganda berbayar, sekaligus memperlihatkan bagaimana opini publik bisa menjadi kekuatan untuk menyoroti dan melawan prakuk yang mamipulative. Integritasnya dinilai tinggi karena ia memprioritaskan kejujuran di atas keuntungan finansial yang besar.
Di sisi lain, muncul pula sikap skeptisisme dari beberapa pihak yang mempertanyakan motif Jerome, apakah tindakannya benar-benar murni atau hanya bagian dari strategi untuk membangun citra publik yang lebih baik.
Komentar ini memicu kemarahan publik terhadap pemerintah, yang dianggap salah dalam mengalokasikan anggaran negara untuk propaganda, terutama di tengah isu-isu sosial dan politik yang sedang memanas.
Namun, suara skeptis ini cenderung tenggelam oleh gelombang dukungan publik yang menganggap Jerome telah membuka mata masyarakat tentang prakik gelap pencitraan politik. Polemik semakin memanas ketika Jerome secara eksplisit mengkritik penggunaan uang rakyat untuk membayar buzzer, di bandingkan dengan minimnya kesejahteraan guru.
Selain itu, kasus ini memicu polemik mengenai standar etika yang harus dimiliki para influencer dan figur publik.
Dengan membongkar tawaran tersebut dan mengajak influencer lain untuk berani bersuara, Jerome menciptakan perdebatan tentang batasan antara endorsement komersial dengan propaganda politik berbayar.
Polemik ini semakin menguat karena isu yang dibawa bukan sekadar soal nominal uang Rp150 juta, melainkan menyentuh aspek yang lebih dalam, yaitu tanggung jawab moral influencer terhadap pengikutnya, serta potensi manipulasi opini publik melalui buzzer berbayar.
Polemik juga berkembang karena menyangkut batas tipis antara kebebasan berekspresi dan upaya sistematis untuk mengendalikan narasi publik.
Influencer yang seharusnya netral dalam menyampaikan konten kepada audiensnya kini dituntut untuk mempertanggungjawabkan setiap pesan yang mereka sebarkan, terutama ketika menyangkut isu poliuk.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran terhadap keamanan figur publik seperti Jerome yang berani bersuara kritis, mengingat adanya potensi ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Situasi ini akhirnya memperlihatkan bagaimana polemik buzzer tidak lagi sekadar isu teknis media sosial, melainkan telah masuk ke ranah moralitas, etuka profesi, dan bahkan kesehatan demokrasi.
Warganet menunjukkan solidaritas mereka dengan mendukung Jerome, menandakan adanya kesadaran kolektif bahwa ruang digital harus dijaga dari praktik manipulatif. Kasus ini juga menyoroti potensi intimidasi yang dihadapi figur publik yang berani bersuara kritis, memunculkan solidaritas dari warganet yang khawatir akan keselamatan Jerome, dan menekankan pentingnya mengawal isu-isu sensitif agar tidak dilupakan begitu saja.
Pada akhirnya, polemik menjadi pengingat bagi masyarakat untuk lebih cerdas dalam menyikapi informasi di media sosial, serta bagi para influencer untuk mempertimbangkan tanggung jawab moral mereka di balik pengaruh yang mereka miliki.
Kasus tawaran buzzer kepada Jerome Polin menyingkap sisi gelap komunikasi di era digital, karena arus informasi yang begitu cepat dapat dimanfaatkan untuk membentuk opini publik melalui figur yang dipercaya banyak orang.
Upaya membayar influencer bereputasi baik demi meredam kritik pemerintah memperlihatkan praktik manipulasi yang jarang terlihat, sehingga peristiwa ini sekaligus menguji integritas para figur publik.
Jerome menunjukkan sikap tegas menolak imbalan besar dan membongkar tawaran tersebut, yang kemudian memicu percakapan luas tentang etika, transparansi anggaran negara, serta tanggung jawab moral influencer terhadap pengikutnya.
Oleh karena itu, isu buzzer bukan sekadar persoalan media sosial, melainkan juga menyangkut kesehatan demokrasi. Masyarakat pun ditantang untuk tetap kritis, sementara para influencer dituntut menjaga kepercayaan publik dengan cara menempatkan kejujuran dan integritas di atas kepentingan materi maupun tekanan politik.
Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Tinggalkan Balasan